Tentang Aku...
Namaku Nadhifatul Rizkia, orang memanggilku dengan panggilan Dhifa. Namun keluargaku memanggilku Dipa. Keluargaku bukan keturunan sunda yang tidak bisa menyebut huruf F. Tetapi keluargaku asli keturunan jawa. Ibuku memanggilku dengan panggilan yang berbeda dari yang lain, yaitu Tul. Entah apa yang membuat ibuku memanggilku dengan sebutan itu, tetapi aku merasa bahagia mempunyai panggilan yang berbeda dari ibuku.
Kini usiaku menginjak 20 tahun karena aku lahir ditahun 1997 tepatnya tanggal 11 November. Sekarang aku melanjutkan sekolah di Institut Pertanian Bogor mengambil jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Bisa melanjutkan kuliah merupakan sebuah berkah yang sangat besar bagiku. Melanjutkan kuliah bukan hal mudah. Meskipun masuk melalui jalur tanpa tes, namun bukan berarti tanpa halangan. Ada berbagai hal sulit yang harus dilalui lebih dulu. Dulu kuliah bukan keinginanku. Aku lebih menginginkan bekerja dan membantu orang tuaku. Namun harapan akan bekal di hari tua kelak menjadi sebuah niat untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.
Pengumuman SNMPTN merupakan momen yang sangat membahagiakan bagi mereka yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Begitupun dengan aku, warna hjau pada lembar pengumuman menunjukan bahwa aku berhasil lolos masuk Perguruan Tinggi Negeri. Hal itu menandakan bahwa harapan akan menjadi kenyataan. Ucapan selamat dari teman membanjiri kolom komentar akun sosial ketika aku mengupkoad foto lembar pengumuman tersebut.
Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba kakak lelakiku bertanya, apa maksud pemberitahuan kalau aku diterima kuliah. Ternyata pengumuman itu tak memberikan kebahagiaan bagi kakak dan Ibuku. Pengumuman itu menjadi beban pikiran "Darimana biaya untuk Aku kuliah?" . Dari situlah kebahagiaanku berubah menjadi tangis. Ucapan selamat tak terucapkan dari mereka, justru bentakan yang aku terima membuat tangisku semakin menjadi. Aku masih ingat akan perkataanku bahwa "Orang yang berniat mencari ilmu pasti akan dimudahkan rezekinya dari jalan manapun, sehigga aku kuliah tidak akan memberatkan keluarga". Keinginanku kuliah bukan hanya untuk mencari gelar, namun aku ingin mengubah garis hidup keluargaku dengan menjadi orang yang pertama kuliah diantara saudara-saudaraku.
Deadline pengiriman persyaratan daftar ulang semakin dekat. Semua persyaratan aku penuhi dengan usahaku sendiri tanpa meminta bantuan dari ibuku. Aku merasa seperti menjadi musuh halangan terbesar bagi keluargaku. Hampir setiap hari aku menangis meminta pertolongan Allah karena beban berat yang harus aku lalui sendiri. Ada satu syarat yang tidak bisa aku usahakan sendiri. Persyaratan beasiswa yang aku ajukan, membutuhkan foto keluarga. Walapun hanya sebuah foto, tetapi usahaku harus disertai tangisan saat aku meminta foto dengan Ibu. Ibu tak pernah mau diajak untuk foto bersama. Hingga saat itu aku menangis dan berlutut dihadapan ibu. Ibu tak pernah tega dengan membiarkan anaknya seperti itu. Dengan emosi dan tangisan, ibu ingin membuktikan perkataanku bahwa "kuliah bisa gratis" dengan bertanya langsung pada orang tua yang anaknya kuliah di Perguruan yang sama. Emosi ibu membuat dia berkata "Ibu akan memotong jari ibu jika perkataan kamu salah". Hatiku bergetar mendengar ibu mengatakan seperti itu. Hanya do'a dalam hati yang saat itu bisa aku ucapkan.
Pertolongan Allah datang ketika perkataanku dibuktikan oleh Seorang Ibu yang sudah mendukung anaknya kuliah terlebih dahulu. Dorongan dan kesadaran yang Bu Ati berikan telah meyakinkan ibuku hingga Ia bisa merelakan aku kuliah.
Kini usiaku menginjak 20 tahun karena aku lahir ditahun 1997 tepatnya tanggal 11 November. Sekarang aku melanjutkan sekolah di Institut Pertanian Bogor mengambil jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian. Bisa melanjutkan kuliah merupakan sebuah berkah yang sangat besar bagiku. Melanjutkan kuliah bukan hal mudah. Meskipun masuk melalui jalur tanpa tes, namun bukan berarti tanpa halangan. Ada berbagai hal sulit yang harus dilalui lebih dulu. Dulu kuliah bukan keinginanku. Aku lebih menginginkan bekerja dan membantu orang tuaku. Namun harapan akan bekal di hari tua kelak menjadi sebuah niat untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi.
Pengumuman SNMPTN merupakan momen yang sangat membahagiakan bagi mereka yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Begitupun dengan aku, warna hjau pada lembar pengumuman menunjukan bahwa aku berhasil lolos masuk Perguruan Tinggi Negeri. Hal itu menandakan bahwa harapan akan menjadi kenyataan. Ucapan selamat dari teman membanjiri kolom komentar akun sosial ketika aku mengupkoad foto lembar pengumuman tersebut.
Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba kakak lelakiku bertanya, apa maksud pemberitahuan kalau aku diterima kuliah. Ternyata pengumuman itu tak memberikan kebahagiaan bagi kakak dan Ibuku. Pengumuman itu menjadi beban pikiran "Darimana biaya untuk Aku kuliah?" . Dari situlah kebahagiaanku berubah menjadi tangis. Ucapan selamat tak terucapkan dari mereka, justru bentakan yang aku terima membuat tangisku semakin menjadi. Aku masih ingat akan perkataanku bahwa "Orang yang berniat mencari ilmu pasti akan dimudahkan rezekinya dari jalan manapun, sehigga aku kuliah tidak akan memberatkan keluarga". Keinginanku kuliah bukan hanya untuk mencari gelar, namun aku ingin mengubah garis hidup keluargaku dengan menjadi orang yang pertama kuliah diantara saudara-saudaraku.
Deadline pengiriman persyaratan daftar ulang semakin dekat. Semua persyaratan aku penuhi dengan usahaku sendiri tanpa meminta bantuan dari ibuku. Aku merasa seperti menjadi musuh halangan terbesar bagi keluargaku. Hampir setiap hari aku menangis meminta pertolongan Allah karena beban berat yang harus aku lalui sendiri. Ada satu syarat yang tidak bisa aku usahakan sendiri. Persyaratan beasiswa yang aku ajukan, membutuhkan foto keluarga. Walapun hanya sebuah foto, tetapi usahaku harus disertai tangisan saat aku meminta foto dengan Ibu. Ibu tak pernah mau diajak untuk foto bersama. Hingga saat itu aku menangis dan berlutut dihadapan ibu. Ibu tak pernah tega dengan membiarkan anaknya seperti itu. Dengan emosi dan tangisan, ibu ingin membuktikan perkataanku bahwa "kuliah bisa gratis" dengan bertanya langsung pada orang tua yang anaknya kuliah di Perguruan yang sama. Emosi ibu membuat dia berkata "Ibu akan memotong jari ibu jika perkataan kamu salah". Hatiku bergetar mendengar ibu mengatakan seperti itu. Hanya do'a dalam hati yang saat itu bisa aku ucapkan.
Pertolongan Allah datang ketika perkataanku dibuktikan oleh Seorang Ibu yang sudah mendukung anaknya kuliah terlebih dahulu. Dorongan dan kesadaran yang Bu Ati berikan telah meyakinkan ibuku hingga Ia bisa merelakan aku kuliah.